RINGKASAN SOSIOLOGI
Selasa, 10 Mei 2011
Minggu, 24 April 2011
PRANATA SOSIAL
Manusia pada dasarnya selalu hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindak tanduk atau perilaku manusia senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri seperti pranata keluarga, pranata ekonomi, pranata pendidikan, pranata politik dan pranata agama dan masih banyak pranata sosial lain yang memiliki fungsi yang sama yaitu mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting.
Pengertian pranata sosial secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan apa yang sering dikenal dengan lembaga sosial, organisasi sosial maupun lembaga kemasyarakatan, karena di dalam masing –
masing istilah tersebut tersirat adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku setiap warga masyarakat.
Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial (lembaga sosial) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hidup bermasyarakat.
Sistem norma yaitu sejumlah aturan sosial, atau patokan perilaku yang pantas, yang menjadi kesepakatan semua anggota masyarakat untuk dipegang dan dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan bersama.
Istilah pranata sosial berhubungan erat dengan apa yang disebut “lembaga” meskipun keduanya berlainan arti. Dua istilah tersebut berakar dari satu ungkapan bahasa Latin institure yang berarti “mendirikan”. Kata benda dari istilah tersebut adalah institutio yang berarati “pendirian” atau “apa yang didirikan”. Institutio tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan dua istilah yang berbeda yaitu institusi (pranata) dan institut (lembaga).
Institusi adalah sistem norma atau aturan yang ada, sedangkan institut adalah wujud nyata/konkret dari norma-norma tersebut.
Pranata sosial pada hakekatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapat dilihat dan diamati-amati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suau konsep atau konstruksi pikir.
Unsur-unsur pranata sosial sesungguhnya bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya sebab manusia-manusia di dalam kelompok atau pranata sosial itu hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari unsur saja. Sehingga dalam kenyataannya mereka itu bisa datang atau pergi dan diganti oleh orang lain tanpa mengganggu eksistensi dan kelestarian dari pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial adalah merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah norma-norma sosial.
Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Untuk mewujudkan tujuannya, menurut Soerjono Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut :
- Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
- Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
- Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial.
Pranata tumbuh karena kebutuhan masyarkat untuk tujuan keteraturan kehidupan bersama. Karena tujuan keteraturanlah masyarakat akhirnya mempunyai sejumlah norma yang harus dipegang oleh setiap anggota masyarakat manakala ia masih terikat dalam keanggotaan. Sejumlah norma itulah yang kita sebut dengan pranata.
Suatu atau sejumlah aturan tidak secara langsung menjadi pranata begitu saja. Tidak secara otomatis norma yang ada dijadikan pranata kehidupan bersama. Proses sebuah aturan menjadi pranata sosial disebut dengan institusionalisasi (disebut juga dengan istilah pelembagaan).
Institusionalisasi yaitu proses berjalan dan terujinya sebuah kebiasaan dalam masyarakat menjadi institusi/pranata, yang akhirnya menjadi patokan dalam kehidupan bersama.
Proses itu memakan waktu yang lama dan harus melalui proses internalisasi (atau pembudayaan), yaitu pembatinan atau penghayatan kebiasaan dalam kehidupan bersama sehingga menjadi milik diri setiap anggota masyarakat. Sesudah menjadi bagian pranata, maka suatu norma mempunyai kekuatan memaksa agar ditaati.
Pranata menjadi sesuatu yang harus dipegang dan dijadikan aturan yang mengikat dalam masyarakat karena proses bertumbuhnya (institusionalisasi) harus memenuhi 3 syarat yaitu :
Penjelasan di atas akan lebih jelas jika digambarkan seperti bagan berikut :
Dengan demikian ada beraneka ragam pranata, tetapi keanekaragaman itu dapat kita telusuri dengan pendekatan sanksi. Artinya sejauh mana sebuah norma itu mempunyai sanksi sejauh itu pulalah ketatnya pranata dimiliki oleh anggota masyarakat. Sanksi tersebut kita dapatkan pada 4 macam tindakan norma yang mempunyai kekuatan pengikat, yaitu :
a) Cara (Usage), yaitu :
Menunjuk pada suatu bentuk perbuatan, mempunyai kekuatan mengikat yang paling lemah. Bagi individu yang melakukan penyimpangan tidak mendapat sanksi hukuman yang tegas, sanksi yang diterima sifatnya lemah, misalnya berupa celaan dan teguran. Misalnya, cara makan yang benar sesuai dengan norma harus menggunakan tangan kanan, jika ada individu yang makan dengan menggunakan tangan kiri, maka individu tersebut sudah dikategorikan menyimpang, tetapi hanya mendapat teguran saja.
b) Kebiasaan (Folk Ways)
Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih tinggi daripada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Contoh, kebiasaan menghormati orang-orang yang lebih tua.
c) Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakukan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai norma pengatur yang bersumber dari kebiasaan. Ciri dari tata kelakuan adalah bahwa tata kelakuan mencerminkan sikap hidup kelompok, sebagai alat pengawas, memaksa suatu perbuatan, melarang dan menuntut anggota masyarakat untuk beradaptasi.
d) Adat-istiadat (Custom)
Tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya (menyatunya) dengan pola-pola perilaku masyarakat, lama-kelamaan meningkat kekuatan mengikatnya menjadi adat-istiadat. Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapat sanksi yang tegas dan keras.
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemui berbagai pranata sosial, sehingga sering tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu pranata sosial sebagai suatu sistem norma mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri ini dirasakan perlu untuk membedakan apakah sistem norma tersebut dianggap sebagai suatu pranata atau bukan. Beberapa ciri yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut.
- Pranata sosial merupakan sistem pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang tersusun atau berstruktur.
- Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu.
- Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan
- Pranata sosial mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya
- Pranata sosial memiliki lambang-lambang atau simbol sebagai ciri khasnya
- Pranata sosial mempunyai tradisi tertulis maupun tidak tertulis
Pranata dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Berikut ini ditunjukkan beberapa tipe pranata sosial menurut Gillin dan Gillin (Soerjono Soekanto, 1987).
a. Berdasarkan Sistem Nilai yang Diterima Masyarakat
- basic institutions, pranata sosial yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib masyarakat, misalnya keluarga, sekolah, dan negara.
- subsidiary institutions, pranata yang dianggap masyarakat kurang penting, misalnya kegiatan rekreasi..
b. Berdasarkan Perkembangannya
- crescive institutions, pranata sosial yang tidak disengaja tumbuh (dengan sendirinya tumbuh ) dari adat-istiadat masyarakat sehingga disebut juga pranata yang paling primer. Contoh ; pranata hak milik, perkawinan dan agama
- enacted institutions, pranata sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh : pranata utang-piutang dan pranata pendidikan.
c. Berdasarkan Sudut Penerimaan Masyarakat
- approved institutions, pranata sosial yang diterima oleh masyarkat, seperti pranata sekolah dan perdagangan.
- unsanctioned institutions, pranata sosial yang ditolak oleh masyarakat meskipun masyarakat tidak mampu memberantasnya, misalnya pemerasan, kejahatan dan pencolengan
d. Berdasarkan Penyebarannya
- general institutions, pranata yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia, misalnya pranata agama, hak-hak asasi manusia (HAM)
- resticted institutions, pranata sosial yang hanya dikenal oleh sebagian masyarakat tertentu, misalnya pranata agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.
e. Berdasarkan Fungsinya
- cooperative institutions, pranata sosial yang berfungsi menghimpun pola-pola atau cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya pranata industri.
- regulative institutions, pranata sosial yang berfungsi mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang ada dalam masyarakat, misalnya kejaksaan dan pengadilan.
Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai-nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarkat yang kemudian dianggap berada di atas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Akan tetapi di dalam setiap masyarakat sedikit banyak akan dapat dijumpai pola-ola yang mengatur hubungan antara lembaga-lembaga kemasjyarakatan tersebut. Sistem dari pola-pola tersebut lazimnya dinamakan institutional configuration. Sistem tadi dalam masyarakat homogen dan tradisional mempunyai kecendrungan untuk bersifat statis dan tetap. Lain halnya dengan masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial, maka sistem tersebut seringkali mengalami perubahan-perubahan. Hal itu disebabkan, oleh karena dengan masuknya hal-hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan-anggapan baru tentang kaidah-kaidah yang berkisar pada kebutuhan pokoknya.
Dengan pertakaan lain, maka lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin merupakan lembaga kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini, hukum dapat merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer di dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa (prestigeful);
2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
3. penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
4. diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
5. para penegak dan pelaksana hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola perikelakuannya;
6. sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum;
7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka tidak mustahil bahwa hukum akan berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Disarikan dari : “Sosiologi & Politik Ekonomi” Oman Sukmana
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan” J. Dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)
“Pokok-Pokok Sosiologi Hukum “Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H.,M.A.
Senin, 18 April 2011
SOSIALISASI
Manusia pada dasarnya selalu hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindak tanduk atau perilaku manusia senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri seperti pranata keluarga, pranata ekonomi, pranata pendidikan, pranata politik dan pranata agama dan masih banyak pranata sosial lain yang memiliki fungsi yang sama yaitu mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting.
Pengertian pranata sosial secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan apa yang sering dikenal dengan lembaga sosial, organisasi sosial maupun lembaga kemasyarakatan, karena di dalam masing –
masing istilah tersebut tersirat adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku setiap warga masyarakat.
Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial (lembaga sosial) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hidup bermasyarakat.
Sistem norma yaitu sejumlah aturan sosial, atau patokan perilaku yang pantas, yang menjadi kesepakatan semua anggota masyarakat untuk dipegang dan dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan bersama.
Istilah pranata sosial berhubungan erat dengan apa yang disebut “lembaga” meskipun keduanya berlainan arti. Dua istilah tersebut berakar dari satu ungkapan bahasa Latin institure yang berarti “mendirikan”. Kata benda dari istilah tersebut adalah institutio yang berarati “pendirian” atau “apa yang didirikan”. Institutio tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan dua istilah yang berbeda yaitu institusi (pranata) dan institut (lembaga).
Institusi adalah sistem norma atau aturan yang ada, sedangkan institut adalah wujud nyata/konkret dari norma-norma tersebut.
Pranata sosial pada hakekatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapat dilihat dan diamati-amati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suau konsep atau konstruksi pikir.
Unsur-unsur pranata sosial sesungguhnya bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya sebab manusia-manusia di dalam kelompok atau pranata sosial itu hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari unsur saja. Sehingga dalam kenyataannya mereka itu bisa datang atau pergi dan diganti oleh orang lain tanpa mengganggu eksistensi dan kelestarian dari pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial adalah merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah norma-norma sosial.
Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Untuk mewujudkan tujuannya, menurut Soerjono Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut :
- Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
- Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
- Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial.
Pranata tumbuh karena kebutuhan masyarkat untuk tujuan keteraturan kehidupan bersama. Karena tujuan keteraturanlah masyarakat akhirnya mempunyai sejumlah norma yang harus dipegang oleh setiap anggota masyarakat manakala ia masih terikat dalam keanggotaan. Sejumlah norma itulah yang kita sebut dengan pranata.
Suatu atau sejumlah aturan tidak secara langsung menjadi pranata begitu saja. Tidak secara otomatis norma yang ada dijadikan pranata kehidupan bersama. Proses sebuah aturan menjadi pranata sosial disebut dengan institusionalisasi (disebut juga dengan istilah pelembagaan).
Institusionalisasi yaitu proses berjalan dan terujinya sebuah kebiasaan dalam masyarakat menjadi institusi/pranata, yang akhirnya menjadi patokan dalam kehidupan bersama.
Proses itu memakan waktu yang lama dan harus melalui proses internalisasi (atau pembudayaan), yaitu pembatinan atau penghayatan kebiasaan dalam kehidupan bersama sehingga menjadi milik diri setiap anggota masyarakat. Sesudah menjadi bagian pranata, maka suatu norma mempunyai kekuatan memaksa agar ditaati.
Pranata menjadi sesuatu yang harus dipegang dan dijadikan aturan yang mengikat dalam masyarakat karena proses bertumbuhnya (institusionalisasi) harus memenuhi 3 syarat yaitu :
Penjelasan di atas akan lebih jelas jika digambarkan seperti bagan berikut :
Dengan demikian ada beraneka ragam pranata, tetapi keanekaragaman itu dapat kita telusuri dengan pendekatan sanksi. Artinya sejauh mana sebuah norma itu mempunyai sanksi sejauh itu pulalah ketatnya pranata dimiliki oleh anggota masyarakat. Sanksi tersebut kita dapatkan pada 4 macam tindakan norma yang mempunyai kekuatan pengikat, yaitu :
a) Cara (Usage), yaitu :
Menunjuk pada suatu bentuk perbuatan, mempunyai kekuatan mengikat yang paling lemah. Bagi individu yang melakukan penyimpangan tidak mendapat sanksi hukuman yang tegas, sanksi yang diterima sifatnya lemah, misalnya berupa celaan dan teguran. Misalnya, cara makan yang benar sesuai dengan norma harus menggunakan tangan kanan, jika ada individu yang makan dengan menggunakan tangan kiri, maka individu tersebut sudah dikategorikan menyimpang, tetapi hanya mendapat teguran saja.
b) Kebiasaan (Folk Ways)
Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih tinggi daripada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Contoh, kebiasaan menghormati orang-orang yang lebih tua.
c) Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakukan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai norma pengatur yang bersumber dari kebiasaan. Ciri dari tata kelakuan adalah bahwa tata kelakuan mencerminkan sikap hidup kelompok, sebagai alat pengawas, memaksa suatu perbuatan, melarang dan menuntut anggota masyarakat untuk beradaptasi.
d) Adat-istiadat (Custom)
Tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya (menyatunya) dengan pola-pola perilaku masyarakat, lama-kelamaan meningkat kekuatan mengikatnya menjadi adat-istiadat. Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapat sanksi yang tegas dan keras.
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemui berbagai pranata sosial, sehingga sering tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu pranata sosial sebagai suatu sistem norma mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri ini dirasakan perlu untuk membedakan apakah sistem norma tersebut dianggap sebagai suatu pranata atau bukan. Beberapa ciri yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut.
- Pranata sosial merupakan sistem pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang tersusun atau berstruktur.
- Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu.
- Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan
- Pranata sosial mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya
- Pranata sosial memiliki lambang-lambang atau simbol sebagai ciri khasnya
- Pranata sosial mempunyai tradisi tertulis maupun tidak tertulis
Pranata dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Berikut ini ditunjukkan beberapa tipe pranata sosial menurut Gillin dan Gillin (Soerjono Soekanto, 1987).
a. Berdasarkan Sistem Nilai yang Diterima Masyarakat
- basic institutions, pranata sosial yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib masyarakat, misalnya keluarga, sekolah, dan negara.
- subsidiary institutions, pranata yang dianggap masyarakat kurang penting, misalnya kegiatan rekreasi..
b. Berdasarkan Perkembangannya
- crescive institutions, pranata sosial yang tidak disengaja tumbuh (dengan sendirinya tumbuh ) dari adat-istiadat masyarakat sehingga disebut juga pranata yang paling primer. Contoh ; pranata hak milik, perkawinan dan agama
- enacted institutions, pranata sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh : pranata utang-piutang dan pranata pendidikan.
c. Berdasarkan Sudut Penerimaan Masyarakat
- approved institutions, pranata sosial yang diterima oleh masyarkat, seperti pranata sekolah dan perdagangan.
- unsanctioned institutions, pranata sosial yang ditolak oleh masyarakat meskipun masyarakat tidak mampu memberantasnya, misalnya pemerasan, kejahatan dan pencolengan
d. Berdasarkan Penyebarannya
- general institutions, pranata yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia, misalnya pranata agama, hak-hak asasi manusia (HAM)
- resticted institutions, pranata sosial yang hanya dikenal oleh sebagian masyarakat tertentu, misalnya pranata agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.
e. Berdasarkan Fungsinya
- cooperative institutions, pranata sosial yang berfungsi menghimpun pola-pola atau cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya pranata industri.
- regulative institutions, pranata sosial yang berfungsi mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang ada dalam masyarakat, misalnya kejaksaan dan pengadilan.
Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai-nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarkat yang kemudian dianggap berada di atas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Akan tetapi di dalam setiap masyarakat sedikit banyak akan dapat dijumpai pola-ola yang mengatur hubungan antara lembaga-lembaga kemasjyarakatan tersebut. Sistem dari pola-pola tersebut lazimnya dinamakan institutional configuration. Sistem tadi dalam masyarakat homogen dan tradisional mempunyai kecendrungan untuk bersifat statis dan tetap. Lain halnya dengan masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial, maka sistem tersebut seringkali mengalami perubahan-perubahan. Hal itu disebabkan, oleh karena dengan masuknya hal-hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan-anggapan baru tentang kaidah-kaidah yang berkisar pada kebutuhan pokoknya.
Dengan pertakaan lain, maka lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin merupakan lembaga kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini, hukum dapat merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer di dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa (prestigeful);
2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
3. penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
4. diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
5. para penegak dan pelaksana hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola perikelakuannya;
6. sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum;
7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka tidak mustahil bahwa hukum akan berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Disarikan dari : “Sosiologi & Politik Ekonomi” Oman Sukmana
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan” J. Dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)
“Pokok-Pokok Sosiologi Hukum “Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H.,M.A.
MOBILITAS SOSIAL
A. Pengertian
Kata mobilitas berasal dari bahasa Latin mobilis yang artinya mudah dipindahkan atau banyak gerak. Kata sosial yang melekat pada istilah mobilitas bermaksud menekankan bahwa istilah itu mengandung makna gerak dengan melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam masyarakat. Dengan demikian mobilitas sosial ialah suatu gerak perpindahan seseorang atau sekelompok warga dari status sosial yang satu ke status sosial yang lain. Mobilitas sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok.
Mobilitas sosial dapat diartikan gerakan sosial. Gerakan sosial yang menggunakan nada protes, penuh emosi, serta dengan kekerasan.lebih tepat disebut gerakan sosial (social movment).
Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup – seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta - maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.
B. Jenis Mobilitas Sosial
ü Mobilitas sosial vertikal ; perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat.
Sesuai dengan arahnya dikenal dua jenis mobilitas vertikal, yakni :
- Gerak sosial yang meningkat (social climbing), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi.
- Gerak sosial yang menurun (social sinking), yakni gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain lebih rendah posisinya.
ü Mobilitas sosial horizontal ; perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Dalam mobilitas sosial yang horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela, tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa.
C. Saluran-saluran Mobilitas sosial vertikal (sirkulasi sosial)
a. Angkatan Bersenjata
b. Lembaga-lembaga pendidikan
c. Lembaga-lembaga keagamaan
d. Organisasi Politik
e. Organisasi Ekonomi
D. Determinan Mobilitas Sosial
Horton dan Hunt (1987) mencatat ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni :
1. Faktor struktrual ; yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi seta kemudahan untuk memperolehnya. Contoh: ketidakseimbangan jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari kerja.
2. Faktor individu ; kualitas orang per orang, baik ditinjau dari segi tingkat pendidikannya, penampilannya, keterampilan pribadi, dan lain-lain-termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.
E. Konsekuensi Mobilitas Sosial
1. Konflik
Konflik ; suatu benturan antara berbagai nilai dan kepentingan tertentu.Benturan itu terjadi karena suatu masyarakat belum siap menerima perubahan yang dibawa oleh mobilitas sosial.
2. Penyesuaian
o perlakuan baru untuk masyarkat kelas sosial, kelompok sosial, atau generasi tertentu.
o Penerimaan individu atau sekelompok warga dalam kedudukannya yang baru
o Pergantian dominasi dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.
Sumber : “Sosiologi Suatu Pengantar, Soerjono Soekanto”
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)“
Minggu, 17 April 2011
PENGENDALIAN ATAU KONTROL SOSIAL
A. PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
B. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.
C. CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
2. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
Diarikan dari : “Berkenalan dengan Sosiologi, M. Sitorus”
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)“
Langganan:
Postingan (Atom)